SELAMAT DATANG DI BLOG DEYA BASTRA


JURNALISTIK UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 2008







Tanah kelahiranku

darah merah mengalir dalam jiwa

semangat tumbuh bagai radiasi yang tak pernah hilang

mentari terus menyinarinya setiap saat

itu lah tanah kelahiranku.......................



Kamis, 01 Desember 2011

JUDUL : “ SISTIM KEBANGSAWANAN YANG TINGGI “, DALAM REALITAS KEHIDUPAN MASYARAKAT BUTON DALAM PANDANGAN OBJEKTIF"

OLEH YUSRI PRAYUNINGSIH

ANALISIS DRAMA BULAN MUDA YANG TERBENAM

KARYA LA ODE BALAWA

STRUKTURALISME adalah salah satu pendekatan terhadap analisis teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur-unsur teks dan unsur-unsur teks hanya memperoleh artinya di dalam suatu hubungan rasional baik asosiasi maupun oposisi. Maksutnya, dalam sebuah karya sastra susunan atau tata unsurnya saling berhubungan antara bagian yang satu dengan yang lain. Hawkes dalam pradobo (1993: 119) bahwa struktur tersebut terlihat adanya rangkaian kesatuan yang meliputi tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide trasformasi, dan ide pengaturan diri sendiri.
Pendekatan strukturalisme menmpatkan karya sastra atau peristiwa di dalam masyarakat menjadi satu keseluruhan karena adanya relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dan antara bagian dari keseluruhan. Adanya relasi timbal balik antara bagian tersebut dengan keseluruhan muncul karena sesungguhnya dari bagian yang satu kebagian yang lainnya saling berkaitan sehingga terwujud suatu keseluruhan. Jadi dengan adanya relasi timbale balik tersebut, maka bagian yang satu dengan bagian yang lain dalm struktur karya sastra tidak dapat dipisah-pisahkan. Pendapat tersebut di perkuat oleh (Luxemburg dkk, 1989: 38) bahwa kesatuan structural mencakup setiap bagian dan sebaliknya bahwa setiap bagian menujukan kepada kesekuruhan.
Strukturalisme adalah pendekatan yang membatasi diri dengan penelaahan karya sastra itu sendiri, terlepas dari persoalan pengarang dan penbaca. Para kritikus juga memandang karya sastra juga sebagai suatu kebulatan makna, dan akibat perpaduan ini dengan pemanfaatan bahasa sebagai alatnya. Dengan kata lain pendekatan ini, melakukan penelaan sastra dari segi intrinsik yang membangun karya sastra yaitu tema, plot, setting,penokohan, dan gaya bahasa (Wahid, 1996: 39-40).
Bertolak dari pandangan bahwa bahasa sebagai sesuatu yang mampu mencapai realitas, maka kaum strukturalis menegaskan bahwa struktur bahasa menghasilkan realitas. Hal ini menggambarkan bahwa sumber makna bukan lagi dari pengalaman pengarang atau pembaca, melainkan dari operasi atau oposisi yang mengiasai bahasa. Struturalisme juga menawarkan karya sastra sebagai sistem tanda, terbangun dari hubunggan antara penanda dan petanda. Konsep pengarang sebagai salah satu alat pembangun kesatuan karya menjadi lenyap karena karya sastra di anggap di tentukan oleh sistem tanda, bukan oleh pengarang ( Easthope dalam Frauk, 1999:145-146).
Buton adalah nama salah satu pulau yang ada di Sulawesi Tenggara yang memiliki berbagai macam adat istiadat. Adat istiadat tersebut seperti tobha (kacindano ooda) yang dilakukan oleh tolowea dari keluarga amantale dari sampolawa dan sistem perjodohan yang dilakukan oleh amangkali kepada keluarga amantale. Dalam drama ini juga memaparkan realitas kehidupan tokoh-tokoh serta adat istiadat masyarakat Buton(suku ciacia) .

***
BANGSA INDONESIA dibentuk oleh beratus-ratus suku bangsa yang tersebar diseluruh pelosok nusantara. Setiap suku bangsa memiliki latar belakang kebudayaan yang berkembang sepanjang sejarah suku bangsa yang bersangkutan. Di samping memiliki keanekaragaman daerah tersebut sastra daerah yang diciptakan oleh masyarakat pendukungnya. Berbagai suku bangsa tersebut mencerminkan keanekaragaman kelompok, yang merupakan sub budaya dari kebudayaan nasional itu perlu dilestarikan. Oleh sebab itu karya sastra sebagai hasil budaya sejak dulu tumbuh dan berkembang di setiap daerah di Indonesia dan perlu mendapat penanganan yang serius terutama dalam pencapaian pembangunan masyarakat seluruhnya.

Salah satu unsur budaya yang bersifat universal dan sangat besar artinya bagi kehidupan, adalah sastra. Sastra juga menggambarkan kehidupn manusia atau masyarakat sosial walaupun itu hanya merupakan suatu imajinasi atau daya khayal pengarang yang menjadi sumber inspirasi dalam penciptaan karya sastra. Pada dasarnya karya sastra atau karya seni adalah pencerminan, pembayangan dan peniruan realitas dan bahkan karya seni dapat dipandang sebagai dokumen sosial serta karya-karya sastra itu banyak mengandung unsur sosial yang sangat berharga bagi kehidupan manusia sebagai pelaku sosial. Hal ini sejalan dengan pandangan Teeuw(984:241) yang menyatakan bahwa, “karya sastra di samping dapat dilihat sebagai dokumen sejarah, juga dapat dipandang sebagai tulisan yang memberi makna pada hal-hal yang hakiki bagi anggota masyarakat yang bersangkuan “.
Pandangan bahwa karya sastra merupakan “ tulisan yang memberi makna pada hal-hal yang hakiki” seperti dikemukakan diatas ,dapat dibuktikan antara lain pada berbagai cerita rakyat di seluruh nusantara . Cerita-cerita rakyat yang sebagian tergolong klasik itu kemudian menjadi inspirasi bagi pengarang-pengarang sastra seperti naskah drama“Bulan Muda Yang Terbenam” yang bersumber dari refleksi kehidupan masyarakat Buton.
Sastra yang mengolah realitas pengalaman hidup menggunakan proses dan penciptaan kembali sehingga selalu berarti meresapkan dan membuat orang menikmati (sutrisno,1995:51). Menurut Welleg dan Warren (1989:25-26 , fungsi sastra dari suatu kurun waktu ke kurun waktu yang lain pada dasrnya sam . Oleh sebab itu, proses pembentukan karya sastra selalu memerlukiskan perenungan kreatif dan kritis sehingga hasilnya adalah bentuk karya sastra yang layak untuk dibaca .

***

PENULISAN ini bermaksut membicarakan salah satu karya sastra dalam pandangan strukturalisme dengan tujuan ingin membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, dan mendalam tentang naskah drama itu. Naskah drama ini di pandang sebagai suatu karya sastra yang betul-betul terjadi di lapisan masyarakat Buton. Naskah drama yang dipilih sebagai bahan analisis adalah sebuah naskah drama yang berjudul “ Bulan Muda Yang Terbenam “ karya La Ode Balawa yang pertama kali ditampilkan langsung oleh Anggaota Laskar Sastra Sulawesi Tenggara.
Naskah drama” Bulan Muda Yang Terbenam “ mengisahkan kehidupan cinta La Domai dan Wani yang memiiliki perbedaan yang sangat jauh. La Domai yang hanya seorang pendatang dari sebuah kampung di Buton ( Batu Atas ) yang tidak jelas asal usulnya, sedangkan Wani adalah seorang perempuan yang berasal dari keluarga Ode ( Gelar Kebangsawan Buton ).
Kisah yang terjadi dalam drama “ Bulan Muda Yang Terbenam “ ini berlatar di Negeri Mata sangia (Daerah Pasar Wajo ), salah satu kota di kabupaten Buton tempat sebuah keraton peninggalan kesultanan Buton pada masa lalu. Nama tempat yang ada dalam drama ini adalah Sampolawa.

Hubungan percintaan antara La Domai dan Wani di ketahui oleh orang tua Wani, sehingga Amangkali ayah wani sangat marah, dia beranggapan bahwa hubungan yang di jalani wani dan La Domai hanya akan menodai nama baik keluaga di mata orang banyak, sehingga Amangkali memanggil Inangkali, Wani dan bibinya.
Agar terlihat gambaran kenyataan, kita dapat melihat pada kutipan sebagai berikut:
Amangkali : Inangkali !!! Wani…..Wani !!!!
Inangkali : Amangkali, ada apa sebenarnya ?
Amangkali : ada apa. Kemana saja putrimu sulungmu selama ini ! kemana! Dan kau kapeteu adat orang laut mana yang kau ajakan kepada kemenakanmu ini !
Inangkali : ada apa sebenarnya ?
Amangkali : Ada apa ? tanyakan saja pada putrimu pembawa sial ini !yang telah beranI berhubungan dengan La Domai,pendatang dari Batu Atas yang tidak jelas asal usulnya.
Wani : Maafkan aku Amanda, aku putrimu tidak sudi Amanda menghina kakanda La domai seperti itu !
Amangkali : Kakanda …..? Orang Batu Atas, miano pasi itu kau sebut kakanda di depanku ! oh tidak !!!
Wani : Tapi…..!
Inangkali : Diam Wani ! tidak pantas kau bicara seperti itu kepada Amandamu !
Wani : (Sambil berteriak, menangis, dan datang bersimpu di kaki amandanya ) Ampuni putrimu Amanda. Izinkalah aku merajut tali suci dengan La Domai putra dari Batu atas itu Amanda !
Amangkali : Diammm !!!, ingat Wani, jangan sekali-kali kau berani menodai nama baik keluarga karena tebusanya hanyA darah dan maut.

Kutipan diatas, menggambarkan sikap Amangkali yang benar-benar marah dengan perbuatan Wani yang menjalin hubungan dengan La domai. Tanyakan saja pada putrimu pembawa sial ini ! yang telah berani berhubungan dengan La Domai, pendatang dari Batu Atas yang tidak jelas asal usulnya. Kisah ini berlangsung pada sebuah ruang keluarga masyarakat pelayar tradisional Cia-cia di Kabupaten Buton.

Kutipan diatas juga, menggambarkan sikap Wani yang berteriak, menangis dan bersimpu di kaki Amangkali dan meminta restu atas hubunganya dengan La Domai “ Ampuni putrimu Amanda “. Izinkalah aku merajut tali suci dengan La Domai putra dari Batu atas itu Amanda ! Namun tidak berarti dengan melakukan hal seperti itu Wani akan di restui oleh ayahnya ternyata Amangkali hanya bertambah marah dan mengancam Wani jika hubungannya dengan La Domai masih berlanjut maka tebusannya hanya darah dan nyawa. Cerita seperti ini tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat Buton tetapi, juga terjadi di kalangan masyarakat Bugis dan Muna.
Untuk mengantisipasi agar hal itu tidak terjadi, Amangkali berniat menjodohkan Wani dengan Lantale anak teman lamanya ( anak Amantale ) yang berasal dari Sampolawa. Hal itu tidak di setujui oleh Wani, tetapi Wani tidak dapat berbuat apa-apa. “ bukankah Inanda sendiri yang mengatakan bahwa sebuah rumah tangga bisa kokoh di atas dasar cinta dan kasih sayang. Kasih sayang yang tulus dari suami dan istri ”. Kata itu yang di ucapaka oleh Wani kepada Inandanya. Tetapi Inanda dan bibinya hanya bisa berkata bahwa perjodohanya dengan Lantale sudah suratan dari Yang Maha Kuasa. Perjodohan secara paksa memang sudah memasyarakat di kalangan masyarakat Buton pada umumnya.

Pertunangan antara Wani dan Lantale sudah di bicarakan sehingga hanya menunggu saja utusan dari Amantale dari Samplawa. Melihat hal itu wani semakin putus asa dan bertambah duka hatinya. Dengan isak tangisnya itu dia mencoba memanggil Langkaliti, seakan memohon pertolongan kepada kakannya karena hanya dia yang cukup mengerti perasaanya selama ini.
Agar terlihat gambaran kenyataan, kita dapat melihat pada kutipan sebagai berikut :
Amangakal: Tabhete emo koja-koja ? sudah saatnyakah pembicaraan kita mulai
Para tam : Umbe !!! apa lagi yang harus di tunggu ?
Amangkal : Baiklah kalau begitu. Sora utarakanlah sesuai dengan adat dan kebiasaan negeri kita.
Sora : Tabea, sawutangkita. Tabe, untuk kita semua ! menurutberita dari seberang bahwa pada hariini duta Amantale dari Sampolawa akan tiba untuk meminang putri kemenakan kita Wa nurani. Untuk itu kita sebagai koeleano di undang untukberkumpul pada saat ini guna untuk membicarakan hal itu.
Juragang darat:yang benar sesuai dengan adat kita Ciacia, urusanPeminangan berada di tangan koeleano,yaknifamily atau keluaga dekat perempuan sedangkan orang tuanya hanyaberkewajiban mendengarkan melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh koeleano.

Kutipan di atas menggambarkan suasana penyambutan utusan Amantale dari Sampolawa. Tentang persiapan keluarga Amangkali dalam menyambut kedatangan utusan dari keluarga Amantale. Yang mana semua kaeleano sudah pada berkumpul. Kisah ini terjadi di ruang tamu keluarga. Amangkali yang pada saat itu sedang memperbincangkan hal yang serius dengan Inangkali tidak begitu lama muncul Langkaliti. Selanjutnya muncul Sora ( saudara Amangkali ) lalu menyusul juragang darat dan laut serta tamu undangan lainnya. Beberapa tamu juga nampaknya bingung ada apa sebenarnya ?.
Tidak lama kemudian, muncul seseorang bahwa utusan Amantale dari Sampolawa telah tiba. Semua yang hadir mengatur posisi duduknya untuk menyambut kedatangan para tamu.

Agar terlihat gambaran kenyataan, kita dapat melihat pada kutipan sebagai berikut :
Tolowea : Tabe,kami hanyalah orangkepercayaan Amantale dari Sampolawa. Apakah layar perahu pantang kami surutkan ?
Amangkali: berpindah karang berpindah jualan, tidak akan berpindah ketetapan terdahulu !!!
Sora : perkataan Amangakali itu yang di junjung di negeri ini. Ikatan janji bagi orang Ciacia ibarat ikatan badan dengan rohnya.Bagi seseorang yang ingkar janji dia tidak dapat dikatakan sebagai orang Ciacia.
Tolowea : Tabea, sawutangkita.Tabe untuk kita semua. Amantale meniti salam untuk tuan Amangkali dan para kaeleano di Negeri Sangia ini.

kutipan diatas menggambarkan suasana pada saat terjadi proses pelamaran. Banyak hal yang di lakukan pada lapisan masyarakat Buton mulai dari pantun yang hendak di lontarkan pihak laki-laki “ Apakah layar perahu pantang kami surutkan”. Lalu wajib bagi pihak perempuan untuk menjawab “ berpindah karang berpindah jualan, tidak akan berpindah ketetapan terdahulu “ !!! Bukan hanya pantun seperti itu yang hendak di keluarkan oleh kedua belah pihak, tetapi masih banyak dengan fersi yang berbeda-beda tergantung tujuan yang hendak di sampaikan. Masyarakat Buton juga khususnya masyarakat Ciacia mengenal banyak tata cara dalam hal melamar hingga proses pernikahan.

Menurut realitas sosisal diluar teks, bahwa masih ada sistim kesukuan seperti itu. Tetapi tergantung pada adat istiadatnya masing-masing (Local wisdom), tetapi pada saat ini sudah dipengaruhi oleh globalisasi. Tahap-tahap dalam melamar pada suku cia-cia (Masyarakat Buton) yaitu perwakilan dari keluarga laki-laki, ada kacindhano odha, pembicaraan kelamar. Tinggi rendahnya mahar yang di keluarkan pihak laki-laki tergantung pada keturunan. Masyarakat Buton juga mengenal tiga macam bhoka ( uang mahar ) yaitu 32, 24, 13 bhoka. Proses pelamaran di kalangan Masyarakat Buton yang memiliki 32 bhoka berada pada kasta tinggi (Bangsawan ), sedangkan 24-13 ada berada pada kasta rendah (Masyarakat biasa ). setelah itu mancari waktu yang baik dan pelaksanaan (unaano tempo), Tauraka (membawa uang adat atau uang mahar), Ijab Kabul (proses pernikahan), sambu (diberi makan) setelah itu pihak perempuan menginjakkan kaki untuk pertama kali di rumah laki-laki.

Proses pelamaran yang telah dilakukan oleh utusan dari keluarga Amantale telah di lakukan dan sudah di terima oleh keluarga besar Amangkali dan keputusannya bahwa pernikahannya akan jatuh pada musim barat tujuh belas bulan di langit.

Pernikahan wani dan Lantale sudah tersebar sampai kepelosok. Hal itu sudah banyak di ketahui oleh banyak orang. Mereka merasa kasihan terhadap nasib Wani. Hal itu dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut :

Teman 1 : Betapa malang nasib Wani ya !!!
Teman 2 : yang malang bukan hanya nasib Wani melainkan nasib semua kaumperempuan Ciacia di Negeri ini.
Teman 2 : Benar juga ya ! adat negeri ini memeng tidak adil terhadap kitakaum perempuan.
Teman 2 : Bukan hanya tidak adil, tetapi juga tidak masuk akal. Masa derajat manusia di tentukan oleh keturunan dan daerah asalnya………

Kutipan di atas, menggambarkan teman-teman Wani yang merasa kasihan dengan keputusan keluarganya yang menjodokannya dengan Lamantale putra dari Sampolawa. Mereka juga berpikir bahwa bukan hanya nasib wani yang seperti itu, tetapi juga semua perempuan yang ada di Ciacia. Memang masih banyak orang Ciacia (Masyarakat Buton pada umumnya) Yang menyombongkan asal dan keturunannya. Sehingga mereka berpikir bahwa keturunannya hanya dapat menikah dengan sesama keturunanya juga. hal seperti itu tidak patut di kembangkan karena derajat seseorang di tentukan oleh tingkat ketakwaanya bukan dari asal dan keturunanya. Pada kutipan diatas, berlatar di jalan ketika mereka hendak pulang dari mencuci di mata air Sangia di luar kampung.

Berita pernikahan Wani sudah sampai di telinga La Domai. Sehingga dia ragu akan cinta Wani terhadapnya. Tetapi hal itu tidak menurunkan rasa sayang dan cintanya kepada La Domai, sampai sampai dia berani mengikat sumpah “ Aku wa nurani putra Amangkali hari ini mengikat sumpah di bawah tujuh lapis langit dan di atas tujuh lapis bumi bahwa tidak akan ada yang sanggup memisakan aku dan La Domai baik dalam suka maupun duka baik dalam hidup maupun mati “.

Amangkali muncul bersama rombongan besar dalam pakaian adat resmi. Di bagian kirinya terlihat Inangkali dan Sora. Menyusul di bagian belakangnya para kaoleno dan juragang darat dan darat. Setelah menduduki posisi masing, pencat silat segera di mulai sebagai hiburan selama menunggu kedatangan rombongan pengantin pria dari Sampolawa.

Tetapi apa yang terjadi, bibi datang dan menceritakan bahwa Wani baku bawa lari dengan La Domai. Hal tersebut membuat Amangkali marah besar dan memanggil Langkaliti agar menyusul mereka. Amangkali juga memberikan keris pusaka mata Sangia kepada Langkaliti.

Nama-nama pelaku dalam drama “ Bulan Muda Yang Terbenam “ ini menujukan bahwa mereka adalah orang-orang Buton. Amangkali, ayah wa nurani yang melarang keras anaknya untuk merajut tali suci dengan La Domai putra dari Batu Atas, samapai sampai amangkali mengatakan putrinya sebagai anak pembawa sial karena berani-berani berhubungan dengan la domain, yang memiliki istri bernama Inangkali. Wani adalah seorang perempuan yang di larang keras oleh keluarganya dalam merajut tali suci dengan La Domai. langkaliti kakak kandung wa nurani yang sangat sayang kepada Wani dan tidak dapat berbuat apa-apa bahkan dia telah membunuh La Domai atas perintah ayahandanya sendiri. Duta atau tolowea, dia yang di utus oleh keluarga amantale untuk meminang wa nurani untuk di persuntingkan dengan lantale dari sampolawa. La Domai, kekasih wa nurani yang berasal dari Batu Atas yang tidak mendapatkan restu dari kedua orang tua wa nurani dan berani membawa lari wa nurani. Sora (saudara Amangkali ). Amantale ayahanda Lantale yang merupakan sahabat lama Amangkali yang berasala dari Sampolawa. Penamaan pelaku ini berkaitan dengan latar tempat yakni Buton (Ciacia).

Pengarang mengakhiri kisah dramanya dalam keadaan yang menyedikan, yang mana La Domai membawa lari Wani dan hal itu di ketahui oleh Amangkali. Sehingga langkah La Domai dan Wani di ikuti oleh Langkaliti. Langkaliti juga di perintahkan untuk membunuh La Domai dengan sebuah keris mata Sangia (keris pusaka keturunan keluarga) pemberianAyahandanya, Keris tersebut berhasil merobek lambung La Domai.

Bentuk penyelesaian drama di atas dapat dimaknai sebagai gambaran kehidupan yang terjadi pada lapisan masyarakat Buton. Mereka yang lebih mementingkan kebangsawanan ketimbang rasa cinta dan sayang. Tampaknya semua pelaku dalam drama ini masih menjunjung tinggi rasa kebangsawanan, sehingga mereka tidak akan menikahkan keturunannya (anaknya ) jika tidak berasal dari keluarga bangsawan .

Setelah menelaah drama “ Bulan Muda Yang Terbenam “ seperti di gambarkan di atas, nampaknya ada hubungan yang sama antara yang di kisahkan dengan kenyataan. Pada penelaah drama tersebut, banyak ditemukan aspek kehidupan nyata, baik yang dapat dicontohkan atau yang harus ditinggalkan. Dalam naskah drama “ Bulan Muda Yang Terbenam ” banyak juga menyugukan peristiwa yang sering ditemukan dalam kehidupan masyarakat , yakni sepasang muda-mudi yang terpaksa memilih jalan kawin lari akibat orang tua tidak merestui atau bertentangan dengan masalah keturunan.

pada hakikatnya naskah drama“Bulan Muda Yang Terbenam” dimaksutkan sebagai sidiran terhadap watak keluarga Amangkali yang banyak dipengaruhi oleh adat istiadat dan sistim kesukuan yang tinggi( sistem kebangsawanan ), yang mana melarang keras keturunannya menikah dengan orang yang tidak sederajat dengan keluarganya( keluarga Ode ). Namun karena watak itu pula sehingga percintaan tulus dua kekasih terhalang oleh adanya kesalahpahaman yang menyangkut harga diri atau martabat keluarga.

***
PENUTUP
Sekilas terhadap naskah drama “ Bulan Muda Yang Terbenam “ bahwa pada masyarakat Buton masih banyak yang memegang kuat dan menjunjung tinggi sistim kebangsawanan, sehingga dalam drama” Bulan Muda Yang Terbenam” hubungan Wani dan La Domai tidak mendapatkan restu oleh Ayahanda Wani. Sehingga kisah cinta mereka yang tulus dapat berakhir dengan kematian. Menurut realitas sosisal diluar teks, bahwa masih ada sistim kesukuan seperti itu. Tetapi tergantung pada adat istiadatnya masing-masing (Local wisdom), tetapi pada saat ini sudah dipengaruhi oleh perkembangan modern. Tahap-tahap dalam melamar pada suku cia-cia (Masyarakat Buton) yaitu perwakilan dari keluarga laki-laki, ada kacindhano odha, pembicaraan kelamar. Tinggi rendahnya mahar yang di keluarkan pihak laki-laki tergantung pada keturunan. Masyarakat Buton juga mengenal tiga macam bhoka ( uang mahar ) yaitu 32, 24, 13 bhoka. Proses pelamaran di kalangan Masyarakat Buton yang memiliki 32 bhoka berada pada kasta tinggi (Bangsawan), sedangkan 24-13 ada berada pada kasta rendah (Masyarakat biasa ).

***

DAFTAR PUSTAKA

Kutha Ratna, Nyoman. 2008. Penelitian Sastra. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Wahid, sugira. 2004. kapita Selekta Kritik Sastra. Makassar: Universitas Negeri Makassar .
Sukada, made. 1987. Pembinaan Kritik Sastra. Angkasa: Bandung
Udu, Sumiman dan La Niampe, 200 . Teori Sastra. Kendari: Universitas Haluoleo .
Ahyar, Anwar, 1996. Kritik Sastra dan Masyarakat Sastra. Yogyakarta: Basic Volume xv – 9 .


TENTANG PENULIS
Yusri Prayuningsih lahir pada tanggal 7 Oktober 1989, di Labuan Tobelo(Buton Utara). Menamatkan Sekolah Dasarnya di SD Negeri Labuan Tobelo (sekarang SD Negeri 4 Wakorumba Utara) pada tahun 2002, menamatkan Sekolah Menengah Pertamanya di SMP Negeri 1 Wakorumba Utara (2005). Setamat SMA jurusan Ilmu Pengetahuan Alam di SMA Negeri 1 Wakorumba Utara (2008) dan melanjutkan kuliahnya di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan ( jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah ) Universitas Haluoleo Kendari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar