SELAMAT DATANG DI BLOG DEYA BASTRA


JURNALISTIK UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 2008







Tanah kelahiranku

darah merah mengalir dalam jiwa

semangat tumbuh bagai radiasi yang tak pernah hilang

mentari terus menyinarinya setiap saat

itu lah tanah kelahiranku.......................



Senin, 05 Desember 2011

Hak Asasi Manusia ( Ruang LIngkup dan Batasanya)

Hak Asasi Manusia : Ruang Lingkup dan Batasannya


Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap pribadi manusia secara kodrati sebagai anugerah dari Tuhan dan yang diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakikat dan kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia. Sebagai anugerah dari tuhan kepada makhluknya, hak asasi tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Hak asasi tidak dapat dicabut oleh suatu kekuasaan atau oleh sebab-sebab lainnya, karena jika hal itu terjadi maka manusia kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan. Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang dipunyai oleh semua orang sesuai dengan kondisi yang manusiawi. Hak asasi manusia ini selalu dipandang sebagai sesuatu yang mendasar, fundamental dan penting.

Pengakuan atas adanya hak-hak manusia yang asasi memberikan jaminan – secara moral maupun demi hukum -- kepada setiap manusia untuk menikmati kebebasan dari segala bentuk perhambaan, penindasan, perampasan, penganiayaan atau perla¬kuan apapun lainnya yang menyebabkan manusia itu tak dapat hidup secara layak sebagai manusia yang dimuliakan Allah.

Hak-hak manusia yang harus diakui sebagai hak-hak yang asasi warganegara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini diperjuangkan kembali seusai Perang Dunia II. Kali ini pengakuan akan hak-hak manusia itu diperjuangkan pada tataran kehidupan antar-bangsa, segera setelah ambruknya kekuasaan negara-negara fasis dan ultra nasionalis (Nazi) yang kalah perang, yang tak menghargai hak hidup, hak kebebasan dan hak-hak politik manusia. Perjuangan penegakan hak-hak asasi kali ini tidak lagi berlangsung dalam tataran nasional di lingkungan negeri-negeri dan negara-negara Barat saja, melainkan diangkat pada tataran internasional, dan terwujud dalam rumusan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (1945) dan Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia (1948).

Substansi deklarasi itu adalah pengakuan atas martabat dan hak yang melekat pada siapapun yang tergolong ke dalam bilangan umat manusia. Itulah martabat dan hak-hak manusia yang sungguh asasi, dan yang karena asasinya itu tak lalu boleh dicabut atau dialihserahkan kepada siapapun yang berkekuasaan (inalienable) serta tak pula mungkin digugat-gugat keabsahannya (inviolable).

Pada tanggal 10 Desember 1948, dengan sebuah resolusi bernomor 217A(III) suatu deklarasi diproklamasikan oleh suatu organisasi antarbangsa yang telah dibentuk seusai selesainya perang Dunia II, ialah Perserikatan Bangsa-Bangsa (atau United Nations menurut nama resminya). Deklarasi itu dalam pasal-pasalnya mengakui dan melindungi sejumlah hak-hak manusia yang asasi, yang pada dasarnya mencanangkan pengakuan secara umum tentang pentingnya hak-hak itu dihormati dan ditegakkan. Berbeda dengan deklarasi-deklarasi serupa yang ada sebelumnya , deklarasi kali ini bukanlah deklarasi suatu bangsa atau suatu negara bangsa tertentu. Deklarasi kali ini, ialah The Universal Declaration on Human Rights (yang di dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan ‘Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia’), dikumandangkan melalui suatu kesepakatan antarbangsa, yang dikatakan “sebagai standar umum … semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap individu dan organ masyarakat … mengupayakan -- melalui pengajaran dan pendidikan -- dimajukannya penghormatan kepada hak dan kebebasan (manusia)”.

Deklarasi yang berjumlah 31 pasal ini mencantumkan pengakuan hak-hak sipil dan hak politik dalam pasal-pasalnya yang ke-3 sampai ke yang 21. Termasuk dalam hak asasi yang dicantumkan dalam pasal-pasal ini antara lain hak-hak untuk tidak diperbudak, untuk tidak mengalami penganiayaan dan perlakuan atau hukuman yang keji dan merendahkan martabat manusia, dan pula untuk mendapatkan peradilan yang terbuka dan independen serta tidak berpihak. Pasal-pasal berikutnya, dimulai dengan pasal 22 sampai ke pasal 27 mengemukakan pengakuan atas hak-hak asasi manusia dalam kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Termasuk dalam hak-hak kategori kedua ini antara lain hak-hak untuk bekerja, untuk memperoleh pendapatan yang sama atas pekerjaan yang sama, untuk memperoleh standar kehidupan yang layak, untuk memperoleh jaminan kesehatan dan layanan pendidikan, dan pula untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya masyarakatnya.

Di dalam konsiderans Deklarasi dinyatakan pula bahwa masyarakat dunia menaruh kepercayaan bahwasanya apa yang disebut fundamental human rights and fundamental human freedom itu sesungguhnya ada. Seterusnya dinyatakan bahwa rights and freedom itu harus dilindungi oleh setiap kekuasaan hukum di negeri manapun, atas dasar asas rule of law yang mengungkapkan ide betapa supremasinya status hukum (the supreme state of law) di dalam kehidupan negara yang berdasarkan atas hukum. Hak untuk hidup, untuk berkebebasan dan untuk memperoleh keselamatan diri adalah contoh apa yang disebut fundamental rights tersebut; sedangkan kebebasan untuk berpikir, untuk berkepercayaan dan berbicara, untuk terhindar dari rasa takut dan dari derita kemiskinan, adalah contoh-contoh fundamental freedoms yang disebutkan di muka, dan benar-benar merupakan aspirasi tertinggi rakyat kebanyakan.

Yang dimaksudkan dengan rights and freedom yang asasi ini tidaklah cuma sebatas persoalan hak dan kebebasan dalam ihwal kehidupan bernegara dan berpolitik saja. Termasuk dalam pengertian hak dan kebebasan yang asasi ini adalah juga hak dan kebebasan para warga negara dalam kehidupan ekonomi, sosial dan budaya atau tradisinya. Deklarasi Umum HAM yang diterima dan dimaklumatkan oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan resolusinya bernomor 217A(III) pada tanggal 10 Desember tahun 1948 itu menyatakan pula dengan jelas dalam berbagai pasalnya jaminan hak-hak asasi di bidang ekonomi, sosial dan budaya.

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dari tahun 1948 ini segera saja, pada dasawarsa berikutnya, disusul dengan penyiapan dan pembentukan dua kovenan dan satu protokol. Kovenan dan protokolnya ini diterima dengan suara bulat oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 16 Desember 1966. Kedua kovenan itu ialah The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan The International Convenant on Civil and Political Rights, sedangkan yang protokol dikenal dengan nama Optional Protocol for The Convenant on Civil and Political Rights. Keempat produk -- satu dari tahun 1948 dan tiga dari tahun 1966 -- itu merupakan instrumen hukum Perserikatan Bangsa Bangsa, dan dikabarkan sebagai International Bill of Human Rights, dengan harapan untuk segera bisa diratifikasi oleh anggota-anggotanya. Negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa yang belum dapat meratifikasi konvenan itu karena berbagai alasan pada dasarnya memang tidak terikat menurut hukum untuk melaksanakannya, namun demikian secara moral tetaplah saja memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk menghormati pengakuan internasional akan adanya hak-hak manusia yang asasi itu, dan kemudian daripada itu juga berkebijaksanaan untuk mengupayakan kemungkinan pelaksanaan realisasinya.

Lebih lanjut dari Deklarasi dari tahun 1948 yang baru bersifat deklaratur, kedua kovenan tersebut di muka ini lebih tertuju ke maksud mengikat secara yuridis negara-negara peserta yang menyepakati kovenan-kovenan tersebut. Mukadimah kedua kovenan itu sama-sama menyatakan pertimbangan bahwa negara-negara peserta – sejalan dengan apa yang dituliskan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa -- memang berkewajiban untuk memajukan penghormatan secara universal dan juga untuk menaati hak-hak asasi berikut kebebasan manusia. Mukadimah ini juga menyatakan kesadaran negara-negara peserta bahwa setiap individu manusia mempunyai kewajiban di hadapan individu manusia yang lain dan pula kepada komunitas tempat ia berada, dan oleh sebab itu juga mempunyai tanggungjawab untuk ikut mengupayakan usaha memajukan serta ikut menaati hak-hak yang telah diakui dalam kovenan-kovenan ini.

Pasal 1, 3 dan 5 kedua kovenan tersebut memuat isi ketentuan yang hampir sama. Pasal 1 kedua kovenan itu sama-sama menyatakan bahwa “semua bangsa mempunyai hak untuk menetukan nasibnya sendiri; maka demi hak ini, semua bangsa akan bebas untuk menentukan status politiknya dan untuk secara bebas pula mengupayakan perkembangan status ekonomi, sosial dan kulturalnya”. Pasal 3 kedua kovenan juga sama-sama menyatakan bahwa “negara-negara peserta kovenan berupaya untuk menjamin persamaan hak antara lelaki dan perempuan dalam menikmati semua hak yang diatur dalam kovenan”. Sementara itu pasal 5 kedua kovenan – seperti mengulang kembali bunyi pasal 30 Deklarasi tahun 1948 – menyatakan bahwa “tidak satupun yang dituliskan dalam kovenan ini dapat ditafsirkan sebagai pemberian hak kepada negara, kelompok atau seseorang untuk melakukan atau melibatkan diri ke dalam suatu kegiatan yang bertujuan merusak hak-hak atau kebebasan yang diakui di dalam kovenan ini ….”.

Masih ada satu dokumen lagi yang melengkapi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang diterima dalam Sidang umum Perserikatan bangsa-Bangsa pada tanggal 16 Desember 1966. Dokumen yang dimaksud ini ialah dokumen yang berisi ‘Protokol Opsional pada Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik’ yang diterima oleh Sidang Umum Perserikatan bangsa-Bangsa pada hari yang sama dengan diterimanya dua Kovenan Internasional yang telah disebutklan di muka. Protokol pertama ini, yang di dalam asalinya disebut Optional Protocol to The International Covenant on Civil and Political Rights, terdiri dari 14 pasal. Protokol disepakati oleh negara-negara peserta atas dasar pertimbangan “bahwa agar dapat mencapai tujuan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik lebih jauh, dan pula demi terimplementasinya ketentuan-ketentuan tersebut dalam Kovenan, layaklah kalau dibuka kemungkinan bagi Komite Hak-Hak Asasi Manusia (sekarang Dewan HAM) – yang harus dibentuk berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dalam bagian IV Kovenan -- guna menerima serta membahas hal-hal yang dikomunikasikan oleh individu-individu yang mengaku telah menjadi korban pelanggaran hak”.

Berbicara mengenai protokol opsional, sebenarnya masih ada protokol yang kedua. Protokol kedua -- disebut Second Optional Protocol to The International Covenant on Civil and Political Rights dalam bahasa aslinya – ini disepakati oleh negara-negara peserta pada tanggal 15 Desember 1989. Protokol kedua ini ditujukan ke arah kebijakan untuk menghapus hukuman mati. Protokol kedua disepakati oleh negara-negara peserta protokol ini atas dasar kepercayaan bahwa dihapuskannya hukuman mati akan membantu usaha meningkatkan harkat dan martabat manusia dan akan pula membantu pula usaha memajukan hak manusia yang asasi untuk hidup. Konsekuen dengan keyakinan ini negara-negara peserta protokol bersepakat untuk tidak akan melaksanakan hukuman mati di wilayah yurisdiksinya, dan kemudian daripada itu juga mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk meniadakan hukuman mati di wilayah yurisdiksinya itu.

Membaca mukadimah dan ketiga pasal pokok yang tertulis dalam dua kovenan tersebut di muka ini, serta pula membaca Optional Protocolnya dan Deklarasi Universal dari tahun 1948, jelaslah sudah bahwa pemajuan dan penghormatan kepada hak-hak asasi manusia harus dipandang sebagai komitmen bersama bangsa-bangsa dunia, bukan hanya yang bangsa Barat dan bukan pula yang bangsa Timur saja, melainkan sudah harus menjadi komitmen bersama bangsa manapun dan negara manapun.

2.Prinsip-Prinsip Dasar Hak Asasi Manusia
Terdapat beberapa prinsip umum yang sering dijadikan dasar dalam upaya pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, antara lain :
a)Universal (Universality)
Hak asasi manusia adalah universal karena mereka didasarkan pada martabat setiap manusia, tidak peduli ras, warna kulit, jenis kelamin, asal-usul etnis atau sosial, agama, bahasa, kewarganegaraan, usia, orientasi seksual, kecacatan, atau karakteristik yang membedakan lainnya. Hal ini karena mereka diterima oleh semua negara dan masyarakat, mereka berlaku dan tanpa pandang bulu untuk setiap orang dan adalah sama bagi semua orang di mana-mana.

b)Tidak dapat dipindahtangankan (Inalienable)
Hak asasi manusia adalah mutlak sejauh hak nya tidak dilepaskan, selama di bawah hukum yang jelas. Sebagai contoh, hak seseorang untuk kebebasan mungkin dibatasi jika ia ditemukan bersalah atas kejahatan oleh pengadilan hukum.

c)Tak terpisahkan dan saling ketergantungan (Indivisible and interdependent)
Hak asasi manusia adalah terpisahkan dan saling tergantung karena setiap hak asasi manusia memerlukan dan tergantung pada hak asasi manusia lainnya, melanggar salah satu hak tersebut mempengaruhi pelaksanaan dari manusia lainnya hak. Sebagai contoh, hak untuk hidup mengandaikan penghormatan terhadap hak untuk pangan dan standar hidup yang layak. Hak dipilih untuk jabatan publik berarti akses ke dasar pendidikan. Membela hak-hak ekonomi dan sosial mengandaikan kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat. Dengan demikian, hak-hak sipil dan politik dan ekonomi, hak-hak sosial dan budaya saling melengkapi dan sama-sama penting untuk martabat dan integritas setiap orang. Menghormati semua hak merupakan prasyarat bagi perdamaian berkelanjutan dan pembangunan.

d)Non-Diskriminasi (Non-Dicrimination)
Beberapa pelanggaran hak asasi manusia terburuk telah dihasilkan dari diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Hak untuk kesetaraan dan prinsip non-diskriminasi, secara eksplisit diatur dalam perjanjian internasional dan regional hak asasi manusia, karena itu penting bagi hak manusia. Hak untuk kesetaraan mewajibkan Negara untuk menjamin ketaatan terhadap hak asasi manusia tanpa diskriminasi atas alasan apapun, termasuk jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, kebangsaan, asal-usul etnis atau sosial, keanggotaan nasional minoritas, hak milik, kelahiran, usia, cacat, orientasi seksual dan status sosial atau lainnya. Lebih sering daripada tidak, diskriminatif kriteria yang digunakan oleh Negara dan aktor non-Negara mencegah kelompok-kelompok tertentu dari sepenuhnya menikmati semua atau sebagian hak asasi manusia yang didasarkan pada karakteristik.

3.Kewajiban Negara
Dengan menjadi pihak pada perjanjian internasional hak asasi manusia, Negara memiliki tiga kewajiban : tugas untuk menghormati, melindungi dan memenuhi. Sedangkan keseimbangan antara kewajiban atau tugas dapat bervariasi sesuai dengan hak-hak yang terlibat, mereka berlaku pada prinsipnya semua hak-hak sipil dan politik dan semua hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, Negara di tingkat domestik memiliki kewajiban untuk memulihkan untuk pelanggaran hak asasi manusia.
"kewajiban untuk menghormati"
Negara memiliki "kewajiban untuk menghormati" berarti bahwa Negara berkewajiban untuk menahan diri dari campur. Ini mengandung larangan tindakan tertentu dengan Pemerintah yang dapat merusak penikmatan hak. Misalnya, berkenaan dengan hak untuk pendidikan, itu berarti bahwa Pemerintah harus menghormati kebebasan orang tua untuk mendirikan sekolah-sekolah swasta dan untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
"kewajiban untuk melindungi"
Negara memiliki kewajiban untuk melindungi untuk melindungi individu terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara. Contoh, hak anak-anak atas pendidikan harus dilindungi oleh negara dari gangguan dan indoktrinasi oleh pihak ketiga, termasuk orangtua dan keluarga, guru dan sekolah, agama, sekte, marga dan perusahaan bisnis. Negara memiliki wewenang yang luas sehubungan dengan kewajiban ini. Sebagai contoh, hak atas integritas pribadi dan keamanan mewajibkan Negara untuk memerangi fenomena luas kekerasan domestik terhadap perempuan dan anak-anak: walaupun tidak setiap tindakan tunggal kekerasan oleh suami terhadap istrinya, atau oleh orang tua terhadap anak-anak mereka, merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang mungkin Negara bertanggung jawab, Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengambil tindakan positif - dalam bentuk terkait pidana, perdata, keluarga atau administrasi hukum, polisi dan pelatihan peradilan atau peningkatan kesadaran umum - untuk mengurangi kejadian kekerasan dalam rumah tangga.

“kewajiban untuk memenuhi”
"Kewajiban untuk memenuhi". Negara-negara diminta untuk mengambil tindakan positif untuk memastikan bahwa hak asasi manusia dapat dilaksanakan. Sehubungan dengan hak atas pendidikan, misalnya, Negara harus memberikan cara dan sarana untuk pendidikan dasar gratis dan wajib untuk semua, pendidikan menengah gratis, pendidikan tinggi, pelatihan kejuruan, pendidikan orang dewasa, dan penghapusan buta huruf (termasuk langkah-langkah seperti mendirikan sekolah umum yang cukup atau menyewa dan menyediakan cukup banyak guru).


4.Instrumen HAM Nasional
Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia. Perdebatan bukan lagi soal-soal konseptual berkenaan dengan teori hak asasi manusia, tetapi pada soal basis hukumnya, apakah ditetapkan melalui TAP MPR atau dimasukkan dalam UUD? Gagasan mengenai Piagam Hak Asasi Manusia yang pernah muncul di awal Orde Baru itu muncul kembali.

Begitu pula gagasan untuk mencatumkannya ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar juga muncul kembali ke dalam wacana perdebatan hak asasi manusia ketika itu. Karena kuatnya tuntutan dari kelompok-kelompok reformasi ketika itu, maka perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya memuat Piagam Hak Asasi Manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia.

Pada 23 September 1999 Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai turunan dari Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat pengakuan yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya mencakup mulai dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak, perempuan dan masyarakat adat (indigenous people). Undang-Undang tersebut dengan gamblang mengakui paham ‘natural rights’, melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati yang melekat pada manusia. Begitu juga dengan kategorisasi hak-hak di dalamnya tampak merujuk pada instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia, seperti Universal Declaration of Human Rights, International Covenan on Civil and Political Rights, International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights, International Convention on the Rights of Child, dan seterusnya.

Undang-Undang ini telah mengadopsi norma-norma hak yang terdapat di dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional tersebut. Di samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (bab VII). Mulai Pasal 75 sampai Pasal 99 mengatur tentang kewenangan dan fungsi, keanggotaan, serta struktur kelembagaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdiri berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, maka setelah disahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 landasan hukumnya diperkuat dengan Undang-Undang. Hal yang menarik dalam Undang-Undang ini adalah adanya aturan tentang partisipasi masyarakat (bab VIII), mulai dari Pasal 100 sampai Pasal 103. Aturan ini jelas memberikan pengakuan legal terhadap keabsahan advokasi hak asasi manusia yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pembela hak asasi manusia atau “human rights defenders”. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia yang harus dibentuk paling lama dalam jangka waktu empat tahun setelah berlakunya Undang-Undang tersebut (Bab IX).


5.Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional

(a)Deklarasi Universal HAM (DUHAM)
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan pada tahun 1945 sebagai reaksi terhadap penderitaan yang disebabkan oleh perang. Tujuan utama PBB adalah untuk mencapai kerjasama, pembangunan dan HAM Internasional, serta menjaga perdamaian dan keamanan internasional, sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 1 Perjanjian PBB. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), mewakili penafsiran otoritatif istilah dari "hak asasi manusia" dalam Piagam PBB, dan karenanya secara tidak langsung dapat dianggap merupakan hukum perjanjian internasional. Seluruh kegiatan dan mekanisme HAM dari Komisi HAM dan badan lainnya di PBB, yang secara langsung berdasarkan pada Piagam, merujuk pada Deklarasi Universal yang diakui standarnya secara mendunia oleh semua negara. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan kedua Perjanjian Kovenan SIPIL dan EKOSOB adalah hanya instrumen hak asasi manusia yang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bersama dengan dua Protokol Opsional untuk SIPOL (1966 dan 1989), mereka biasanya disebut sebagai "Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia".

1.Perjanjian Hak Asasi Manusia Utama
Ketentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia telah dilengkapi dengan sejumlah instrumen spesifik yang mengikat. Beberapa perjanjian berada di bawah pengawasan badan-badan pemantauan, dengan dua Kovenan, seperangkat instrumen biasanya dilihat sebagai perjanjian hak asasi manusia utama. Dibawan ini instrumen tambahan :
1.Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
(CERD; adopsi pada tahun 1965; berlakunya pada tahun 1969); Negara Indonesia meratifikasi konvensi melalui Undang-Undang No. 29 Tahun 1999.
2.Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW, adopsi pada tahun 1979; berlakunya pada tahun 1981); Negara Indonesia meratifikasi konvensi melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984.
3.Konvensi Menentang Penyiksaan yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Hukuman (CAT; adopsi pada tahun 1984; berlakunya pada tahun 1987); Negara Indonesia meratifikasi konvensi melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1998.
4.Konvensi tentang Hak-hak Anak (CRC; adopsi pada tahun 1989; berlakunya pada tahun 1990); Negara Indonesia meratifikasi konvensi melalui Undang-Undang No. 36 Tahun 1990.
5.Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (yang dikenal sebagai Konvensi Pekerja Migran, atau CMW; adopsi pada tahun 1990; berlakunya pada tahun 2003).

7.Bolehkah Pemerintah Membatasi Hak Asasi Manusia?
Beberapa hak asasi manusia, seperti larangan penyiksaan dan perbudakan, adalah mutlak tidak boleh dibatasi dalam keadaan apapun. Dalam kasus dimana suatu tindakan menyakitkan yang dilakukan oleh petugas pelaksana hukum memenuhi kriteria yang didefinisikan dalam pasal 1 Konvensi PBB tahun 1984 tentang Penyiksaan. Terlepas alasan-alasan moral yang valid secara teoritis untuk membuatnya sah (misalnya tindakan penyiksaan tersebut dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang suatu bom, dimana penyebaran informasi tersebut telah berhasil menyelamatkan banyak nyawa manusia).
Banyak kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia dikenakan apa yang disebut klausul pembatasan. Pelaksanaan kebebasan politik, seperti kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat, disertai dengan tugas dan tanggung jawab dan mungkin, karena itu, dapat dikenakan formalitas tertentu, kondisi, pembatasan dan hukuman demi kepentingan keamanan nasional, integritas teritorial atau keselamatan publik, pencegahan gangguan atau kejahatan, perlindungan masyarakat kesehatan atau moral, atau perlindungan reputasi atau hak dan kebebasan orang lain. Jika orang menyalahgunakan kebebasan mereka berbicara dan berpartisipasi dalam demonstrasi untuk hasutan untuk kebencian rasial atau agama, untuk propaganda perang atau untuk menghasut orang lain untuk melakukan kejahatan, Pemerintah memiliki kewajiban untuk mencampuri pelaksanaan kebebasan ini untuk melindungi hak asasi manusia orang lain.


Tulisan ini di Kutip Selasa, 6 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar